SELAMAT BERGABUNG!

aktororchestra.blogspot.com adalah bentuk "pengkhidmatan" A. Bima Sutisna, Agus Nasihin, Yanti Sri Budiarti dan Aktor Band terhadap karya-karya sastra dan musik Indonesia.

Media ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan bermanfaat seputar bahasa dan sastra Indonesia, beragam apresiasi sastra, informasi musik dan lagu, serta mudah-mudahan dapat memotivasi para pelajar, pendidik dan musisi untuk senantiasa berkarya serta tetap menjaga dan meningkatkan kualitas.


Sabtu, 26 November 2011

MP3 - MUSIKALISASI PUISI TERBARU

Bagaimana mungkin kami dapat bersuara
Bukankah suara kami sudah diminta paksa
Oleh mereka yang suka pelesiran ke manca negara
Oleh orang-orang yang fotonya terpampang di dinding bersama Garuda
Oleh bapak-bapak yang memakai safari ke mana mana sambil meralat janjinya

.............

Selengkapnya silakan download MP3-nya:

"Suara dari Bumi" - Musikalisasi puisi Agus Nasihin
Lagu: Azep Bima - Aktorchestra 2011

"Suara dari Langit" - Musikalisasi puisi Yanti Sri Budiarti
Lagu: Azep Bima - Aktorchestra 2011

Kamis, 20 Januari 2011

Buku Antologi Puisi & CD Musikalisasi Puisi

TELAH TERBIT !
Puisi-puisi Yanti Sri Budiarti & Agus Nasihin
Anak kandung kata-kata yang diterbitkan dalam buku antologi berjudul:
SUARA DARI LANGIT SUARA DARI BUMI
Dilengkapi CD Musikalisasi Puisi 
yang dikemas dalam album Cinta Mati dalam Batu
Pengantar: Agus R. Sarjono
Diteribitkan oleh Radian Press - Bandung
Ukuran 14x21 - 100 hlm.
Harga eceran Rp 60.000,-
===========================
"Mendengarkan suara dari langit baik berupa simfoni suara hujan, gemuruh awan, gelegar halilintar, atau rentetan kilat bersabung seringkali menjadi pemantik munculnya ide. Semua itu pada hakikatnya merupakan elemen paling dasar di dalam hidup, yakni air, udara (angin), api (cahaya), selain elemen tanah (bumi) yang kita pijak ini. Memahami suara dari langit dalam proses kreativitas penulisan puisi berarti mencoba menafsirkan sasmita, pertanda alam, pesan-pesan semesta yang merupakan ejawantah dari pesan keabadian" 
~ Yanti Sri Budiarti ~

"Menulis puisi adalah cara untuk tidak menjadi gila di tengah-tengah kegilaan hidup. Menulis puisi adalah cara untuk berbicara kepada para penguasa yang sudah tak punya rasa. Menulis puisi adalah cara untuk mencintai tanah, air, udara, dan kekasih. Karena itu, saya tak akan berhenti menulis puisi. Saya menulis puisi supaya tetap berpikir. Saya berpikir supaya tetap ada" 
~ Agus Nasihin ~

"Maka dengan ini saya nyatakan kalian sah sebagai suami-istri di pelaminan buku puisi. Semoga apa yang sudah dipersatukan dengan puisi tidak dapat dipisahkan dengan prosa kerungsingan hidup sehari-hari.
Selamat berbahagia, juga buat pembaca."
~ Agus R. Sarjono ~
"Beberapa puisi karya Agus banyak kejutan yang tak terduga, sedangkan pada puisi-puisi Yanti lebih banyak menghanyutkan. Kejutan dalam puisi selalu menghanyutkan, kehanyutan menulis puisi selalu mengejutkan!”
 ~ Matdon (Rois 'Am Majelis Sastra Bandung) ~

* * *

Untuk Pembelian / Pesan Antar Wilayah Bandung hubungi:
SANGGAR BUKU
Telp. / SMS: 022 9526 1794

* * *
RADIAN PRESS
Jl. Pelindung Hewan No. 27 Bandung 40243
Telp./SMS: 02270695381; 08156422678

Kios Sastra - Majelis Sastra Bandung
KEBUN SENI - Jl. Tamansari No. 69
Parkir 3 Kebun Binatang Bandung
 
 atau dapatkan di bursa buku Palasari Bandung
Informasi lengkap menyusul.


Selasa, 21 Desember 2010

ANTARKOTA DALAM PROVINSI

Pengantar pada buku Kumpulan Sajak Agus Nasihin
"Ketika Engkau Menagih Puisi "
Radian Press Bandung- 2006

"Apa arti sebuah puisi?" tanya Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya yang berujudul "Sajak". Bagi dia puisi sangat berati. Menulis puisi baginya adalah salah satu cara untuk meringankan beban hidupnya. Mungkin juga dia dapat melupakan berbagai masalah, mulai dari anak yang sakit, istri yang mengeluh, gaji yang tidak mencukupi, dan yang paling penting melupakan untuk bunuh diri.

Lalu, apa arti puisi bagi saya?  Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Puisi-puisi saya (kalau ada yang mengakui puisi) lahir dari hasil pengembaraan pikiran ketika saya melakukan perjalanan antarkota yang harus saya jalani setiap minggu. Jika saya tidak membiarkan imajinasi berkeliaran, perjalanan antarkota yang harus saya tempuh sekitar empat jam menjadi proses kehidupan yang menyiksa lahir dan batin, mental dan spiritual (Terima kasih ya Allah, Engkau telah menganugerahkan kemampuan "melamun" kepada manusia).

Mengapa saya menulis puisi? Saya juga tidak tahu mengapa menulis puisi, mungkin karena manusia memiliki rasa yang bisa diekspresikan dalam bentuk seni atau keindahan. Saya tidak bisa bermain musik atau bernyanyi. Saya tidak bisa menari. Saya tidak mampu melukis. Jadi, saya putuskan untuk menulis puisi.

Mengapa menerbitkan buku puisi? Kalau yang satu ini saya dapat menjawabnya. Saya menerbitkan buku puisi karena ingin dikenal dan ingin dikenanang. Agar mahasiswa saya tidak meragukan integritas saya ketika mengajarkan apresiasi puisi, saya harus menerbitkan buku puisi. Agar saya bisa berkomunikasi lagi dengan teman-teman saya (para penyair) yang sudah amat saya rindukan. Saya dapat menerbitkan buku puisi karena memiliki sahabat yang mau bersusah payah mewujudkan angan-angan saya yang selama ini hanya sebatas "omong doang" (thanks Sep 4 ur dedication).
(Agus Nasihin)

Kamis, 23 September 2010

PENGAJIAN PUISI DI MAJELIS SASTRA BANDUNG

Catatan Agus Nasihin:

PUASA-PUISI
"Selamat menunaikan ibadah puisi"
(Joko Pinurbo)

Bunyi Kata:
Adakah hubungan antara puasa dengan puisi? Ada, kata orang yang kreatif mencari alasan. Kedua kata itu hanyaberbeda pada huruf vokalnya (bunyi /a/ dan bunyi /i/). Adanya ciri kesamaanbentuk atau bunyi dalam kata sering dimanfaatkan oleh para penyair atau orator karena enak didengar. Hal itu pula yang menyebabkan Joko Pinurbo menulis kalimat,"Selamat menunaikan ibadah puisi". Permainan bunyi ini pernah menjadi unsur kepuitisan yang utama dalam sastra romantik dan simbolisme (abad ke-18 danke-19) di Eropa Barat. Kata mereka musiklah yang paling utama dalam puisi. Dari masalah bunyi inilah muncul istilah rima, irama, efoni, atau kakafoni. Salah seorang penyaiir Indonesia  yang gemar memanfaatkan persamanaan bunyi ini adalah Sutardji  (baca O,Amuk, Kapak).

Kontemplasi:
Membaca atau menulis puisi dibutuhkan proses perenungan. Mulut, mata, dan telinga lebih banyak kita beri asupan makanan yang tidak bergizi. Ada saatnya panca indera kita dipuasakan (kontemplasi) untuk memberi kesempatan kepada pikiran dan perasaan memproses apa yang telah dialami oleh panca indra kita. Pada bulan puasa kita dianjurkan untuk berkontemplasi yang dikenal dengan istilah i'tikaf.

Bacalah!:
Tidurnya saja pada bulan Ramadan dihitung sebagai ibadah, apalagi jika digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang baik. Salah satu cara untuk mendapat keberkahan ramadan banyak-banyaklah membaca. Banyaknya pengetahuan dan wawasan akan menjadi pemicu dalam mengekspresikan gagasan dan perasaan dalam bentuk puisi. Selain itu, wajib membaca karya-karya puisi para penyair yang sudah teruji sehingga kita dapat belajar mengenal puisi-puisi yang bermutu.

Bicara efektif:
Berpuasa merupakan cara untuk melatih mulut kita agar tidak berbicara sembarangan. Prinsipnya, "Jika tidak mampu berbicara yang bermanfaat, diamlah!". Menulis puisi merupakan proses memeras inti sari kata sehingga menjadi ungkapan yang padat dan bermakna. Berbicara,berdiskusi, dan berkumpul dengan para penyair juga merupakan cara untuk melatihm engungkapkan gagasan dengan bahasa yang sistematis dan untuk menyerap energi kepenyairan.

(Selamat berbuka puisi: Agus Nasihin – ustad puisi) 

Minggu, 06 Juni 2010

MENJADI PENYAIR AMOR


Penulis: Agus Nasihin
 (Beberapa Catatan dari Dialog dengan Acep Zamzam Noor dan Ahda Imran yang dilaksanakan oleh Majelis Sastra Bandung di Gedung Indonesia Menggugat, 30 Mei 2010)



Penemuan dalam Pertemuan (Kecil)
Berbicara mengenai perpuisian di Jawa Barat (khususnya Bandung) pada tahun 80-an tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu “Pertemuan Kecil” dan Saini K.M. “Pertemuan Kecil” merupakan rubrik di Pikiran Rakyat yang diasuh oleh Saini K.M. memuat karya-karya penyair disertai ulasan singkat. Saini K.M. diakui sebagai pengasuh para penyair muda bagaimana menulis puisi yang baik dan menjadi penyair yang benar. Dari rubrik inilah dikenal karya-karya Juniarso Ridwan, Beni Setia, Yessi Anwar, Sutan Iwan Soekri Munaf, Diro Aritonang, Soni Farid Maulana, Nirwan Dewanto, Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, dan banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, tidak terkecuali Acep Zamzam Noor dan Ahda Imran. Sebagaimana diakui oleh Ahda Imran, Saini K.M. tidak banyak memberikan ulasan yang bersifat teknis, tetapi lebih menekankan pada masalah sikap mental. Dengan demikian, “Pertemuan Kecil” menjadi bidan yang membantu lahirnya penulis-penulis muda yang terbukti kemudian banyak menjadi penulis-penulis mumpuni.
Bisa jadi, “Pertemuan Kecil” adalah satu-satunya sarana interaksi antarpenulis puisi, Pada saat itu, yang dirasakan oleh Ahda, agak sulit untuk berinteraksi dengan sesama penulis atau penyair karena masih langkanya komunitas-komunitas berkesenian dan acara-acara bedah buku. Bahkan Ahda baru mengetahui sosok Saini K.M. pada acara peluncuran buku puisi Sepuluh Orang Utusan, padahal sebelumnya pernah bertemu di toko buku. Hal ini dirasakan juga oleh Acep pada awal-awal kepenyairannya. Dia merasa seorang diri, tidak punya teman.

Penemuan dalam Pertemuan (Besar)
Lain dulu lain sekarang. Setiap generasi adalah anak zamannya. Kini mencari informasi semudah menjentikkan jemari. Dunia maya dengan segala fasilitas dan kemudahannya membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Naskah diketik komputer kemudian dikirim lewat email merupakan salah satu contoh kemudahan itu. Setiap orang dapat menulis puisi dan menerbitkan atau memuatnya dalam blog atau catatan di facebook merupakan salah satu contoh kemudahan lainnya. Konsekuensi dari situasi ini, menurut Ahda, lebih banyak orang yang menulis, tetapi tidak atau sedikit membaca. Oleh karena itu, Ahda sangat menekankan kepada para penyair untuk memperkaya bacaan (bacaan apapun) serta melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan berkesenian.
Adanya jejaring facebook atau twitter mendorong para penulis untuk berinteraksi lebih jauh, bahkan membentuk komunitas-komunitas tertentu. Setiap orang menemukan ruang kebebasan berekspresi. Banyaknya buku yang diterbitkan mendorong penerbit atau penulisnya untuk mengadakan acara peluncuran buku. Dalam ruang-ruang seperti itulah kemudian para penulis berinteraksi dan berdialog. Situasi seperti itu secara kuantitatif memperlihatkan semakin luasnya “apresiator” dan “penulis”, tetapi dari segi kualitas masih menjadi pertanyaan.

Amatir: Jalan Penyair
Memilih menjadi penyair berarti memilih jalur amatir. Menulis puisi tidak dapat dijadikan sebagai profesi yang akan menjadikannya sebagai profesional (yang secara finansial menguntungkan). Modal dalam berproses sehingga lahir puisi tidak sebanding dengan imbalan yang didapat dari honor atau hasil menjual buku puisi. Para penyair yang telah mumpuni sekalipun tak ada yang mengandalkan profesinya pada kepenyairan. Goenawan Mohammad adalah seorang yang berprofesi sebagai wartawan atau Sapardi Djoko Damono berprofesi sebagai dosen. Oleh karena itu, penyair tidak akan pernah pensiun karena dia seorang amatir, sedangkan seorang professional akan mengalami pensiun. Begitulah Acep Zamzam Noor (AZN) menjelaskan tentang proses kreatif dan keyakinannya terhadap kepenyairan.
Istilah amatir, menurut AZN bukanlah sesuatu yang jelek atau rendah serta tidak ada hubungannya dengan pencapaian kualitas karya seseorang. Amatir dalam penafsiran AZN berasal dari kata amore yang berarti cinta dan ini sangat erat hubungannya dengan kesukaan, kesenangan, kecintaan serta pengorbanan pada pekerjaan yang ditekuni. Karena amatir, penyair tidak mengenal pensiun.
Masalah profesi ini ditanggapi oleh M. Syafari Firdaus. Dia mengatakan bahwa dirinya memilih jalan untuk menulis puisi saja, tidak memilih jalan untuk menjadi penyair. “Seorang penyair harus menulis puisi, tetapi menulis puisi tidak selalu harus penyair”, kata Daus (Daus adalah panggilan Firdaus oleh Matdon sebagai moderator, alih-alih memanggilnya Firda). Menjadi penyair harus memiliki mentalitas sebagai penulis (puisi), intensionalitas, dan loyalitas. Firdaus menegaskan bahwa puisi “Menjadi Penyair Lagi” menunjukkan bahwa AZN sebagai penulisnya sempat berada pada situasi tidak sedang menjadi penyair. Acep sendiri mengakui bahwa ada kalanya dalam setahun puisi yang dihasilkannya hanya beberapa.

Menulis Puisi: melalui Tabarruk
Menjadi penyair, bagi AZN merupakan proses yang panjang dan melalui jalan yang berliku. Salah satu jalan yang dilaluinya melalui tabarruk (mengambil berkah). Hal tersebut dilakukan dengan melihat tradisi di pesantren yang begitu menghormati dan mengagungkan kitab kuning. Kitab kuning oleh orang-orang pesantren diciumi dan diletakkan di atas kepala. Menurut pengakuannya, AZN pun waktu di Itali, sampai-sampai menciumi buku-buku puisi para penyair Itali dan Spanyol. Hal itu dilakukannya sebagai salah satu cara menghayati. AZN mungkin tidak sedang menyarankan agar kita juga melakukan hal yang sama, tetapi kedekatan kita, penghayatan kita terhadap sesuatu akan menjadikan diri kita lebih memahami dan dapat menyatu dengan apa yang kita hayati tersebut.

Menulis Puisi: Mencari Suasana
Setiap orang memiliki tempat-tempat dan waktu-waktu favorit untuk menulis. Ilham dan gagasan dapat dipungut kapan saja dan di mana saja, tetapi untuk menuliskannya perlu suasana khusus yang membawanya pada situasi in the mood. Intinya tempat, cuaca, benda-benda, alam memberikan intensitas rangsangan yang berbeda-beda, bahkan creambath pun menjadi penting bagi penyair, begitu menurut Acep Zamzam Noor.

Menulis Puisi: Menggosok Batu Akik
AZN pernah memberikan batu akik kepada seseorang yang ingin menjadi penyair. Namun, orang tersebut memberikannya lagi kepada orang lain sehingga tidak berhasil menjadi penyair. Bisa jadi sebenarnya bukan semata-mata batu akik, melainkan bagaimana kita harus membentuk mentalitas seorang penyair, melatih kekhusyukan, kesabaran, tidak mudah putus asa, ketulusan serta kecintaan terhadap sesuatu. Menggosok batu akik melalui proses panjang yang hasilnya baru akan diketahui pada tahap akhir. ”Batu itu seperti kata, semakin digosok semakin bercahaya,” begitulah fatwa AZN kepada siapa saja yang berniat serius menggeluti puisi.

Menulis Puisi: Mengolah Realitas (Tahu manjadi Tahi)
Dalam proses kreatifnya, penyair melakukan pergulatan yang intens dalam menjalani kehidupan. Realitas yang dilihat, dirasakan, dan dijalaninya harus diolah, penyair dituntut untuk menyatakan realitas tersebut dengan wujud lain. Realitas yang dialami sang penyair, baik rohani maupun jasmani, tidak lagi dinyatakan secara verbal, tetapi harus mampu dilukiskan secara visual lewat kata-kata.

Puisi: Meremangkan Bulu Kuduk
Bagaimana menjelaskan puisi yang bagus merupakan suatu persoalan karena setiap orang tidak harus sepakat mengenai kriteria yang dipegangnya. Akan tetapi, kriteria AZN terhadap sebuah puisi berhasil adalah kemampuannya meremangkan bulu kuduk (mungkin juga bulu yang lain). Bahkan menurut pengakuan AZN nama penyairnya yang puitis atau aneh pun dapat menggetarkan. Jadi langkah awal AZN dalam menikmati puisi adalah memeriksa nama penyairnya dulu apakah sudah beres atau belum sebagai nama penyair. Setelah itu baru memasuki puisinya.

Catatan Terakhir: Apakah menjadi ilalang ada gunanya?
”Tak boleh seorang mukmin merendahkan diri. Apa maksud merendahkan diri ya Rasul? Memaksakan diri untuk melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan” (Mizan, 3:441). Perkataan Rasulullah ini menjadi kalimat pengingat bagi kita (saya), apakah kita (saya) memaksakan diri sebagai penyair sehingga menjadi orang yang akan merendahkan diri sendiri. Apakah kata-kata Saini K.M. yang juga dikutip oleh AZN bahwa memaksakan diri menjadi penyair hanya akan mengganggu dunia puisi bagai ilalang mengganggu tanaman padi. Dalam konteks ini Saini mengingatkan kepada para penulis yang menulis puisinya didasari oleh motif-motif lain, bukan panggilan jiwa. Atau biarkan saja ilalang tumbuh karena ilalang juga memberikan manfaat.
(Mohon maaf jika terdapat kesalahan interpretasi mohon maklum. Salam takzim:
Agus Nasihin – apresiator amor)

Selasa, 02 Februari 2010

CD Gratis untuk Pengunjung Pesta Buku Bandung 2010

Pada PESTA BUKU BANDUNG 2010 yang diselenggarakan IKAPI JABAR bekerjasama dengan PEMKOT BANDUNG pada tanggal 17 Februari 2010 Aktor Orchestra tampil pada acara Musikalisasi Puisi dan Diskusi Buku "Sadur" (Host: UNPAD & IKAPI). Pada kesempatan itu Akor Orchestra berkesempatan memberi kenang-kenangan berupa CD Musikalisasi Puisi "Depan Cermin" kepada nara sumber. Di antaranya adalah Henri Chambert Loir, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, DEA., Ibu Kalsum, dan moderator.


Dalam rangka memperkenalkan Musikalisasi Puisi TERBARU karya A. Bima Sutisna, Aktor Orchestra memberikan CD Gratis kepada para pengunjung yang apresiatif dan antusias berinteraksi.

Acara Diskusi Buku & Musikalisasi Puisi dibuka dengan Penampilan AKTOR Band yang membawakan 2 buah lagu Karya Bayu Aktor. Sedangkan A. Bima Sutisna, Yanti Sribudiarti & Aktor Orchestra membawakan Musikalisasi Puisi Terbaru.

Terima kasih kami ucapkan kepada Dhipa Galuh Purba, Erwan Juhara dan seluruh Panitia PESTA BUKU BANDUNG - IKAPI JABAR, kepada para pengunjung yang apresiatif, kepada para Fans dan seluruh pendukung yang selalu setia

Jumat, 08 Januari 2010

Apa Kata Puisi Tentang Dirinya

Penyusun: Agus Nasihin - Yanti Sri Budiarti

Berbagai cara dilakukan untuk mendefinisikan apa itu puisi. Sampai saat ini tidak ada satu definisi puisi pun yang memusakan karena puisi terus berubah seiring dengan perubahan zaman. Salah satu cara yang menarik dilakukan oleh para penyair atau penyajak dengan menjelaskan hakikat puisi melalui ekspresi puisi. Puisi yang paling dikenal dalam mendefinisikan puisi ialah puisi yang ditulis oleh Sanusi Pane.

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihnya

Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang di hati nurani.

(Sanusi Pane dari Puspa Mega)

Dalam puisinya Sanusi Pane ingin menjelaskan bahwa puisi merupakan proses kreatif dalam memilih kata-kata secara cermat; puisi merupakan cetusan perasaan yang muncul secara spontan. Dalam buku puisinya yang berjudul Madah Kelana Sanusi Pane meralat apa yang telah ditulisnya. Ia meralatnya dengan puisi juga.

SAJAK
O, bukannya dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca sepintas lalu.
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.

(Sanusi Pane dari Madah Kelana)

Sanusi Pane meralat bahwa sajak bukan dalam kata yang rancak. Menurutnya hakikat sajak adalah ekspresi yang keluar dari sukma, tidak berpretensi apa-apa, harus tulus. Buang segala kata yang tidak keluar dari dasar hati yang paling dalam.
Subagio Sastrowardojo kemudian meneruskan tradisi Sanusi Pane. Ia menyusun puisi dengan judul “Sajak” sebagai berikut.

SAJAK
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayu putih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
Sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggrek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

(Subagio Sastrowardojo, 1957)


Puisi dirasakan oleh Subagio seakan-akan tidak berarti apa-apa jika hidup ini dihadapkan dengan berbagai macam persoalan kehidupan. Tetapi, sejak tersebut sesungguhnya menegaskan bahwa betapa berartinya sajak. Karena hidup semakin sulit, Subagio bisa menulis sajak dan akhirnya dapat duit. Sajak bagi Subagio adalah senjata yang ampuh untuk mengalahkan rasa frustasi, keinginan untuk bunuh diri.
Berbeda dengan Subagio, Hartojo Andangdjaja seolah-olah mendefinisikan langsung apa itu puisi dalam puisi yang berjudul sajak di bawah ini.

SAJAK

Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejekmu, di dunia
Ia mengelana di tanah-tanah indah
lewat bukit dan lembah
dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca
jejak kakimu di dana

Sementara di mukanya masih menunggu
yojana biru
kaki langit yang jauh
jarak-jarak yang harus ditempuh

Ia makin merindu
dalam doa, dan bersimpuh
Tuhanku…..
Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejakmu, di dunia

(Hartojo Andangdjaja, 1966)

Dalam sajaknya Hartojo ingin menjelaskan bahwa puisi adalah luapan ekspresi dari pengalaman hidup berupa kenangan, petualangan, percintaan, dan kerohanian.
Berbeda dengan yang lain yang menulis puisi dengan judul sajak, Dodong Djiwapradja membuat puisi dengan judul puisi.

PUISI
Kun fayakun
Saat penciptaan kedua adalah puisi
Tertimba dari kehidupan yang kautangisi

Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari
adalah puisi
Udara yag kauhirupi, air yang kauteguki
adalah puisi
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli
adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali
adalah puisi

Dan dari setiap tanah yang kaupijak
Sawah-sawah yang kaubajak
Katakanlah: sajak

Puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan

Puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah

(Dodong Djiwapradja, 1968)


Dodong Djiwapradja memberi makna terhadap puisi sebagai suatu proses penciptaan yang dahsyat. “Kun fayakun”, jadi, maka jadilah! Seperti ketika Tuhan berkehendak dengan mengatakan “jadi!”, maka segala sesuatunya tidak ada yang mustahil. Melalui ciptaan-ciptaan Tuhanlah, puisi mendapatkan inspirasinya. Bumi, laut, udara, air, kebun, bukit adalah puisi. Tetapi, semua itu kembali lagi kepada manusia yang memiliki hati dan pikiran, manusia yang menajalani kehidupan. Lewat pengalaman yang manis, lewat pengalaman yang pahit, lewat hati yang gundah, jadilah puisi; puisi menjelma bagai “gedung megah” yang di bangun dalam sanubari.
Berbeda dengan puisi-puisi di atas, beberapa penyair menulis puisi dengan judul “Sajak” maknanya tidak lagi mudah diraba, seperti pada sajak Sapardi berikut.

SAJAK, 1
Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada
suku kata yang gosok-menggosok dan membara.
“Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan
menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain
putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!”
Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu
cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai
beterbangan dan menyesakkan udara dan…”

(Sapardi Djoko Damono, 1973)

Kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk memahami maksud penyair dengan memberikan judul “Sajak” pada sajaknya. Tetapi, kita masih bisa mengenali hubungan antara judul dengan isinya karena masih kita dapati kata-kata seperti “berdiang pada suku kata…”, “… kata demi kata menjadi abu….” Bagi Sapardi kata-kata harus terus menerus kita gosok agar tidak menidurkan kita. Kita harus terus menerus berlatih menyusun kata sehingga menjelma puisi. Kita harus sigap menangkap kata demi kata agar tidak beterbangan dan tidak menjadi apa-apa. Kita harus dengan cepat menuliskan segala pikiran dan perasaan dalam bentuk kata-kata (puisi).
Di antara sekian banyak penyair yang menulis puisi dengan judul “Sajak” ialah Acep Zamzam Noor, yang lebih sulit lagi bagi kita untuk menemukan maksudnya.

SAJAK

Perempuan itu tanpa nama
Bangkit dari kesederhanaanmu

Ketika langit bersih
Mengalirkan sungai kasih

“Tapi aku bukan penzinah
Aku penziarah!”

Lantas siapa yang menyimpan tangisnya?
Lantas siapa yang menyusui bayinya?

Perempuan itu tanpa nama
Maria

Bangkit dari kesederhanaanmu
Menangis dalam dingin batu

Barangkali geli
Dihamili sejarah Masehi

“Tapi aku bukan anak jadah, ia!”
Kereta waktu terus melaju

(Acep Zamzam Noor, 1982)

Tidak mudah untuk memahami maksud dari puisi Acep Zamzam Noor ini (kalau mudah nanti tidak dianggap sebagai puisi). Setidak-tidaknya kita dapat menangkap kemisterian dan kerahasiaan lahirnya seorang anak dari rahim seorang ibu tanpa ayah. Kemisterian juga terjadi pada kelahiran puisi dari rahim penyairnya.
Demikianlah, beberapa cara untuk memahami arti puisi. Alih-alih memperjelas, para penyair yang mencoba menulis puisi tentang puisi malah memperkabur. Tapi, itulah puisi. Kalau tidak kabur, bukan puisi namanya.

* * *