SELAMAT BERGABUNG!

aktororchestra.blogspot.com adalah bentuk "pengkhidmatan" A. Bima Sutisna, Agus Nasihin, Yanti Sri Budiarti dan Aktor Band terhadap karya-karya sastra dan musik Indonesia.

Media ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan bermanfaat seputar bahasa dan sastra Indonesia, beragam apresiasi sastra, informasi musik dan lagu, serta mudah-mudahan dapat memotivasi para pelajar, pendidik dan musisi untuk senantiasa berkarya serta tetap menjaga dan meningkatkan kualitas.


Jumat, 25 September 2009

PUISI MENDEFINISIKAN DIRINYA SENDIRI

Penyusun: Agus Nasihin


Dahulu adalah seorang yang hanya sedikit sahaja memperoleh pelajaran sekolah. Ia amat rajin bekerja, ia hidup dengan hemat dan cermatnya, istrinya ialah seorang perempuan yang arif budiman, dan lama-kelamaan jadilah ia seorang yang berada. Maka inginlah ia menambah pelajarannya dan dicarinyalah seorang guru. Guru itu menceritakan kepadanya tentang adanya sajak. Sajak itu mempunyai jumlah suku kata yang tertentu pada tiap-tiap baris dan baris-baris itu bersajak satu dengan yang lain. “Itulah puisi”, kata guru itu kepadanya, dan diberinya sebuah contoh:


Jikalau tuan menjadi sungai,
Kakang menjadi ikan yang permai

(Dikutip dari Penjedar Sastera)


Apakah puisi? Dalam bahasa Indonesia selain dikenal istilah puisi ada juga yang menyebutnya sajak. Pada awalnya, sajak memiliki arti persamaan bunyi, seperti pada pantun kita kenal memiliki persamaan bunyi dengan rumus abab atau dapat kita sebut bersajak abab. Menurut J.S. Badudu istilah puisi (poet) sebenarnya berpadanan dengan istilah sanjak. Akan tetapi, seiring dengan perubahan waktu istilah puisi berpadanan dengan istilah sajak dan kedua istilah itu dalam penggunaannya sama-sama bersaing, sama-sama produktif.

Selain istilah-istilah yang telah disebutkan di atas adakalanya orang juga menyebut istilah syair. Istilah syair sebenarnya adalah salah satu jenis puisi lama yang mirip dengan pantun tetapi berisi cerita. Di masyarakat luas istilah syair lebih banyak digunakan untuk menyebut kata-kata yang digunakan dalam lagu. Orang sering menyebutnya syair lagu atau lirik lagu.

Untuk memahami puisi, Shanon Ahmad, seperti yang dikutip oleh Pradopo, membuat definisi puisi dengan memadukan unsur-unsur yang terdapat pada berbagai macam definisi. Puisi adalah ekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca idera dalam susunan yang berirama.

Inilah satu lagi definisi puisi yang menurut penyusunnya (Herman J. Waluyo) merupakan definisi yang terpaksa, “Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya”.

Ada baiknya pula merenungkan sebuah dialog antara seorang anak dan ayahnya tentang apa itu puisi.


Anak : Ayah, apakah sebenarnya yang disebut puisi itu?

Ayah : Apabila engkau ingin mengerti puisi, anakku

Pandanglah tenang-tenang gelombang lautan di samudera luas tanpa tepi

Dengarlah baik-baik kicau unggas di pagi hari

Puisi adalah kehidupan, anakku

Puisi adalah sesungging senyum yang terlukis pada sudut bibir sang dara

Puisi adalah pemahaman rasa, anakku

Karena itu, bila kau ingin memahami puisi, bukalah pintu hatimu.



Rabu, 20 Mei 2009

MENGAPA AKTOR ORCHESTRA?

AKTOR adalah pemeran. Semua orang berperan dalam kapasitasnya masing-masing. Semua menjadi AKTOR utama sekaligus menjadi AKTOR pembantu. Semua orang punya hak untuk menjadi apa saja. Semua orang harus menjadi yang terbaik.

ORCHESTRA diartikan sebagai bermain musik bersama. Jika kehidupan ini adalah musik, setiap orang harus menjalani (kan) kehidupannya dalam kebersamaan; menggali gagasan bersama; berbagi kesulitan dan kebahagiaan bersama (ujung-ujungnya...makan bersama).
  • AKTOR ORCHESTRA adalah sebuah wadah (manajemen) bagi siapa saja yang ingin "bermain" musik (plus seni lain) yang didirikan oleh A. Bima "Sakti" Sutisna dan Agus Nasihin.
  • AKTOR ORCHESTRA telah menghasilkan sebuah album VCD musikalisasi puisi; sekarang sedang membina AKTOR BAND dan memberikan konsultasi dalam bidang desain grafis.
  • AKTOR ORCHESTRA telah membuat sebuah komunitas yang diberi nama FAKTOR PLUS. (Fans Aktor). Siapa saja yang berminat dalam bidang seni dapat bergabung dengan kami.
Selamat bergabung dalam kafilah ruhani....

Minggu, 17 Mei 2009

UNTUK KARYA YANG PENUH MAKNA (Album Depan Cermin)

Ketika seseorang yang hidup dan menjalaninya dengan cara menghargai kehidupan, lalu berada pada posisi diterpa kerinduan kepada Sang Pencipta, maka puisi adalah taman yang indah dan sejuk untuk merebahkan hati dan merenungi diri.

Ketika seseorang memiliki hasrat untuk mencari kebermaknaan geme­riciknya air mengelus batu dan merindukan arti media dalam pembelajaran puisi, maka karya musikalisasi puisi audio-visual ini menjadi anugerah yang patut disyukuri.

Alhamdulillah hanya orang yang berkualitas unggul dan kreatif saja yang mampu berprestasi.
~ Prof. Dr. Yoyo Mulyana - Guru Besar UPI Bandung ~

Musikalisasi Puisi Agus Nasihin & Yanti Sri Budiarti

Album VCD: DEPAN CERMIN
Pencipta Lagu & Penata Musik:

A. Bima Sutisna
Aktor Orchestra - Bandung, 2009


"Puisi adalah pikiran yang musikal", kata Thomas Carlye Jika puisi adalah musik, mengapa harus dibuat musikalisasi puisi? Justru karena puisi itu musik, lebih "enak" jika diiringi instrumen musik. Musik adalah bahasa yang universal. Kita dapa tmenikmati musik instrumen atau lagu-lagu berbahasa asing walaupun tidak memahami makna lirik lagunya. Begitupun puisi, kata-kata dalam puisi penuh dengan konotasi, simbol, metafora. Puisi sering dihindari karena menuntut kita untuk mengaktifkan imajinasi dan pikiran (sebagian besar tidak suka berpikir).

Puisi yang diolah menjadi musikalisasi puisi setidak-tidaknya diharapkan akan lebih mudah mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas. Dengan demikian, puisi dapat lebih diapresiasi oleh masyarakat yang lebih luas.

Selamat menikmati musikalisasi puisi yang diambil dari kumpulan puisi "Ketika Engkau Menagih Puisi" (Agus Nasihin) dan "Bolehkah Merindu" (Yanti Sri Budiarti). Terima kasih.

BOLEHKAH MERINDU - Buku Kumpulan Sajak Yanti Sri Budiarti


SUNYI MENULIS PUISI
Oleh Agus Nasihin

Need to express ourself in verse is usually an artistic and emosionel need rather than a financial one (children write poems for love alone and many adults do the same) – beauty of nature – long for freedom – worship god, etc. (Teach Yourself Creative Writing – Diane Doubtfire, 1983).

Siapa saja boleh menulis puisi. Yang bukan penyair pun dapat ambil bagian. Puisi hakikatnya milik semua orang. Selama nyawa bersatu dengan raga, manusia pasti punya rasa. Rasa yang menyelinap dalam-dalam meminang kata-kata menggerakkan pena, maka kun fa yakun menjelmalah puisi. Rasa yang menghunjam dibawa oleh pengalaman hidup. Hidup yang pahit adalah sahabat bagi kata-kata adalah sahabat bagi pena sahabat bagi diri yang terluka. Hidup yang sunyi menjelma puisi. Puisi yang diminta untuk bersaksi di hadapan anak-anak didiknya. Puisi yang akan dikenang di usia tuanya.

Tak ada yang melarang untuk merindu. Karena rindu adalah rasa, rindu adalah hidup yang pahit tapi indah. Rindu adalah ada dan tiada. Rindu adalah dekat dan jauh sekaligus.

Di usia yang tak muda lagi, kata orang harus dewasa. Di umur yang tersisa semangat harus makin membara karena perjalanan tak hanya sampai di usia. Di usia yang terus meranggas rindu itu tak boleh sirna. Kita adalah perindu karena Tuhan harus dirindu.

Yanti Sri Budiarti lahir di Karawang 7 Oktober 1967. Menyelesaikan studinya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI (IKIP) Bandung pada tahun 1990. Semasa kuliah beberapa kali menjuarai lomba baca puisi. Pada saat itu lebih banyak menulis puisi dalam bahasa Sunda. Setelah selama enam tahun menjadi guru di SMAN Jampangkulon, kini menjadi guru di SMAN 15 Bandung.. Beberapa kali mengikuti lomba karya tulis dan menulis di media masa. Karya tulisnya pernah terpilih sebagai Juara 1 Lomba Menulis Antar Guru SMP dan SMA se-Jawa Barat pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Bandung. Ketika buku puisi ini terbit penulis sedang mengikuti pendidikan Pasca Sarjana S-2 di UPI yang dibiayai dari kantong sendiri. Kini tinggal di Kampung Cihideung Gudang Lembang bersama suaminya dan tiga orang anaknya.

MUSIKALISASI PUISI - Oleh Agus Nasihin

Bentuk kolaborasi antara seni sastra (puisi) dan seni musik sekurang-kurangnya dapat dibagi ke dalam tiga dikategori.
  1. Pembacaan puisi yang diiringi oleh musik. Puisi dibacakan dengan usaha penafsiran yang tepat sambil diiringi (back sound) musik yang menyesuaikan dengan penafsiran si pembaca.
  2. Musik (lagu) yang syairnya puitis. Beberapa penyanyi (pemusik) menciptakan lagunya dengan mempertimbangkan syair-syair yang puitis. Lagu-lagu Ebiet G. Ade dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Dalam kategori ini penciptaan lagu dan syair dapat bersamaan atau lagu terlebih dahulu baru syairnya diciptakan.
  3. Puisi yang dilantunkan menjadi nyanyian. Dalam kategori ini penciptaan puisi mendahului penciptaan musik. Pemusik menciptakan lagunya berdasarkan pada puisi yang telah tercipta. Yang masuk ke dalam kategori ini, misalnya beberapa lagu Bimbo yang diambil dari puisi Taufiq Ismail, musikalisasi puisi-puisi Sapardi oleh Ari-Reda, musikalisasi puisi oleh Ari KPIN, dan A. Bima Sutisna-Aktor Orchestra.
Semakin hari peminat musikalisasi puisi semakin bertambah. Hal ini dapat dipandang sebagai respons terhadap syair-syair lagu masa kini yang tidak memiliki kedalaman makna dan sangat stereotip (berbicara tentang jatuh cinta, putus cinta, dan perselingkuhan). Puisi biasanya diciptakan berdasarkan hasil perenungan yang mendalam terhadap berbagai aspek persoalan kehidupan. Selain itu, puisi mengandung kekuatan citra dan rima, serta simbol-simbol yang dapat menggugah rasa.

Musikalisasi puisi dibuat dengan maksud agar puisi itu ”menjadi lebih hidup” ketika dikolaborasikan dengan seni musik sehingga diharapkan dapat lebih mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas, tidak hanya peminat sastra. Musikalisasi puisi diharapkan dapat memberi penajaman makna yang tersirat ataupun tersurat sehingga dapat membantu masyarakat awam dalam memahami puisi.

Bagaimana memusikkan puisi? Tidak dibenarkan menambah atau mengurangi kata/suku kata dalam puisi yang dipilih dengan alasan apa pun. Pengulangan baris atau bait pada puisi sebagai refrein pada lagu dapat dilakukan untuk menegaskan pesan dalam puisi, tetapi bukan merupakan keharusan.


PENGAJARAN PUISI
Pengajaran apresiasi puisi di sekolah banyak dikeluhkan oleh guru. Faktor penyebabnya bisa datang dari guru itu sendiri, dari siswa, atau dari bahan puisi yang diajarkan. Kegemaran siswa berpuisi akan terbentuk jika situasi dan kondisi belajar puisi yang diikutinya mendukung. Bahan puisi yang menarik minat dan perhatian siswa pun dapat mengkondisikan siswa untuk menyukai apresiasi puisi. Sebuah lagu dapat dianggap sebagai suatu alat dan bahan yang efektif untuk pengajaran apresiasi pusi. Hal ini karena beberapa alasan, antara lain (1) lagu dapat menampilkan fungsi yang berbeda dalam pengajaran apresiasi sastra dalam hal ini apresiasi puisi, (2) lagu dapat memotivasi suatu pendekatan emosional untuk belajar puisi, (4) lewat lagu siswa dapat mengekspresikan sikapnya terhadap apa-apa yang telah dia dengar, dan (5) lagu dapat membantu perkembangan estetis seseorang.

Mengapa puisi dan lagu? Alasannya adalah bahwa puisi dan lagu sangatlah berirama. Puisi dan lagu menawarkan suatu kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, para pembelajar dapat membaca puisi dengan keras atau dapat menyanyikan lagu tanpa ada perasaan bahwa kegiatan pembelajaran itu tidak alamiah. Puisi dan lagu ini memberikan masukan yang sangat berarti bagi para pembelajar sehingga hal ini dapat membedakan dengan bahan pembelajaran yang lain. Setiap orang, khususnya para pelajar yang sedang dalam masa pertumbuhan, memerlukan ”makanan” yang bermutu bagi jiwanya. Musik dan lirik lagu merupakan salah satu ”makanan” bagi jiwa. Musik dan lirik lagu yang banyak beredar dan diperdengarkan lebih banyak berupa karya-karya yang stereotype dalam penggunaan kata-katanya dan kurangnya kedalaman makna. Oleh karena itu, agar perkembangan jiwa para pelajar sesuai dengan yang diinginkan, musik dan lirik lagu sebagai salah satu makanan bagi jiwa haruslah merupakan karya-karya yang berkualitas. Salah satu karya yang harus dipertimbangkan untuk memenuhi keperluan tersebut ialah musikalisasi puisi.

Musikalisasi puisi dapat menjadi jembatan bagi kualitas apresiasi musik dan apresiasi puisi. Pada umumnya siswa jarang membaca karya puisi. Dengan banyaknya beredar musikalisasi puisi, secara tidak langsung siswa diharapkan akan tergerak untuk membaca puisi. Akan tetapi, jarang sekali kita temukan album-album musikalisasi puisi yang beredar di masyarakat. Oleh karena itu, kami berusaha untuk mengisi kekosongan tersebut.

Rabu, 13 Mei 2009

MUSIK ADALAH MAKANAN JIWA

Musik adalah makanan bagi jiwa.
Makanan yang bergizi bagi jiwa
adalah musik yang memiliki kedalaman makna.

Saya sangat tersanjung karena Kang Bima diam-diam telah mengangkat puisi-puisi saya menjadi lagu-lagu yang menyentuh jiwa. Puisi-puisi saya mungkin sangat pribadi, tetapi puisi (karya sastra) diciptakan agar setiap orang yang membacanya mendapatkan pengalaman orang lain yang mungkin tidak dialaminya. Awalnya yang membaca puisi-puisi saya dapat dihitung dengan jari (mahasiswa saya karena terpaksa, teman-teman dekat, atau anak dan istri), sekarang sudah dapat didengarkan oleh orang banyak.

Terima kasih kepada A. Bima Sutisna dan Aktor Orchestra yang telah menghabiskan waktunya untuk berkhidmat kepada saya dan setia mengiringi dalam setiap pentas.

~ Agus Nasihin ~

KATA-KATA MASIH SETIA MENEMANIKU

Terima kasih kepada Pencipta Yang Maha Sempurna, Sang Pemilik Kreativitas. Terima kasih kepada sumber inspirasi: ayah dan ibuku, suamiku, anak-anaku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, kesunyian, kerinduan, malam, bintang, yang darinya aku banyak belajar.

Terima kasih kepada Kang A. Bima (Sakti) Sutisna yang melalui talentanya puisiku bisa berlengang-lenggok seirama alunan musik. Puisiku memiliki tenaga untuk merasuk ke relung sukma dan merambah ke kedalaman jiwa. Puisiku menjadi hidup dan ramah menyapa setiap hati. Terima kasih kepada kata-kata yang masih setia menemaniku.
~ Yanti Sri Budiarti ~

DOA DALAM PUISI - Oleh Agus Nasihin

Puisi Doa: yang Berjudul “Doa” dan yang Mengandung Kata “Doa”

Para penyair dalam menuliskan puisinya yang berkaitan dengan doa banyak yang memberi judul ”Doa”, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Budiman S. Hartoyo, Ajip Rosidi, Abdul Hadi, Taufiq Ismail, Sutardji, Rachmat Djoko Pradopo. Pada umumnya puisi-puisi yang hanya berjudul ”Doa” berkaitan dengan permohonan individu penyairnya. Penggunaan aku lirik sangat dominan dalam puisi-puisi yang berjudul ”Doa” ini.
Sebagian besar penyair menulis puisi dengan judul yang mengandung kata ”doa” yang ditujukan untuk orang lain (komunitas tertentu) atau merupakan identifikasi penyair terhadap orang lain (komunitas tertentu), seperti ”Doa Poyangku” Amir Hamzah, ”Doa Orang Kubangan” Taufiq Ismail, ”Doa Putih Pembakar Kapur” Toto Sudarto Bachtiar, ”Doa Para Pelaut yang Tabah” Sapardi Djoko Damono, ”Doa Seorang WTS” Subagio Sastrowardoyo, ”Doa untuk Anakku” Emha Ainun Nadjib, ”Doa Perempuan” Miranda Risang Ayu”. Judul-judul seperti ini menunjukkan dengan jelas keberpihakan penyair kepada orang-orang yang disebutkan dalam judul sajaknya. Penyair sudah tidak berbicara lagi tentang dirinya, keinginan-keinginan dirinya, tetapi sudah menjadi pembela bagi orang lain; menjadi pembela kaum yang tertindas.
Selain kedua jenis judul di atas, terdapat juga judul yang mengandung kata ”doa” berkaitan dengan suasana atau tempat, seperti puisi ”Doa di Jakarta” W.S. Rendra, ”Dalam Doa” Sapardi Djoko Damono, ”Doa di Tengah Massa” Emha Ainun Nadjib, ”Doa Penutupan Penataran P4” Mustofa Bisri, ”Doa Malam” Ahmadun Y. Herfanda. Puisi-puisi ini menunjukkan suasana atau keadaan yang perlu mendapat perhatian karena ada sesuatu yang dirasakan ganjil atau sangat penting oleh penyair.

Puisi Doa: Permintaan, Pengakuan, dan Cinta

Doa dalam puisi banyak yang berisi tentang permintaan. Dalam puisi “Doa” Ajip Rosidi yang hanya satu bait berisi permintaan kepada Tuhan.
Tuhan. Beri aku kekuatan Menguasai diri sendiri, kesunyian dan keserakahan. Beri aku petunjuk selalu untuk memilih jalanMu, keridoanMu, amin.
Demikian pula dalam puisi “Doa”, Amir Hamzah menginginkan sesuatu dari kekasihnya (Tuhan) sebagai suatu permintaan,
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku
sendu, biar berbinar gelakku rayu!

Berbeda dengan Ajip Rosidi, Amir Hamzah memulai puisi ”Doa”nya dengan memuji-muji Tuhan dan bersyukur kepada-Nya karena Tuhannya telah memberi kesejukan yang diibaratkan senja setelah terik matahari.
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas terik,
angin malam mengembus lemah, menyejuk
badan, melambung rasa,
menayang fikir, membawa angan ke bawah kursimu
Puisi “Doa” Taufiq Ismail dapat dikategorikan ke dalam puisi yang berisi pengakuan dan kehinaan diri, kemudian disusul dengan permohonan berupa pengampunan dari Tuhan.
Tuhan kami Telah nista kami dalam dosa bersama Bertahun membangun kultus ini Dalam pikiran yang ganda Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami Ampunilah Amin
Pengakuan akan dosa juga tampak pada puisi ”Doa” Budiman S. Hartoyo, seraya memohon agar Tuhan tidak berpaling.
Betapapun, ya Allah
jangan palingkan WajahMu
Betapapun kusandang dosa-dosaku
dan dengan rasa malu
aku datang menghadapMu
Walaupun tidak berbicara tentang dosa, Chairil Anwar juga mengungkapkan pengakuan di hadapan Tuhannya, mengakui akan kelemahan dirinya, Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk.
Dalam puisi “Doa” Amir Hamzah tampak sekali bahwa Tuhan sebagai seorang kekasih, Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku? Doa yang dipanjatkan oleh Amir Hamzah doa penuh cinta. Demikian pula dengan puisi “Doa” Chairil Anwar memperlihatkan kekuatan cinta kepada Tuhan, Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namaMu/ Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh. Pada bait terakhir secara tersirat Chairil pun membutuhkan uluran tangan Tuhan supaya mau membuka pintu-Nya.
Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling
Kecintaan penyair yang sangat besar kepada Tuhannya terasa pula dalam puisi “Doa I” Abdul Hadi W.M. Tuhanlah yang menyediakan segala sesuatu. Kalau ada yang kenyang, Tuhanlah yang mengulurkan tangan, membuat manusia kenyang. Tuhanlah yang memberi nasi. Akan tetapi, Tuhan pun ikut meneteskan air mata jika ada makhluk-Nya yang kelaparan dan berebut nasi. Tuhan ditempatkan sebagai sesuatu yang sangat imanen. Tuhan merupakan refleksi dari tangan, kenyang, dan nasi.
Kalau ada tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi
hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu.
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan ini membukanya, Kaulah kenyang itu. Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu. Tapi kalau ada lapar yang bergerak menggeliat merebut nasi untuk sekedar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi, Kaulah airmata ini.
Hal yang sama terdapat dalam puisi ”Doa Putih Pembakar Kapur” karya Toto Sudarto Bachtiar
Terbungkuk di bawah keranjang batu Sehidup suntuk kudaki tangga waktu Terhuyung-terhuyung satu satu Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu
Puisi Doa: Permohonan Individual dan Permohonan Sosial
Puisi yang berkaitan dengan doa pada umumnya berbicara tentang individu sebagai aku lirik atau subjek lirik. Seruan-seruan yang ditujukan kepada Tuhan merupakan seruan retoris subjek lirik.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, Penuhi dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
Yang menjadi isi permohonan Amir Hamzah di atas adalah agar diri subjek lirik diterangi dengan sinar Tuhan.
Dalam puisi Budiman S. Hartoyo,
aku lirik yang merasa banyak dosa memohon kepada Tuhan agar tidak memalingkan wajahnya. Betapapun, ya Allah/ jangan palingkan WajahMu/ Betapapun kusandang dosa-dosaku/ dan dengan rasa malu/ aku datang menghadapMu
Sementara itu, yang dimohon oleh Ajip Rosidi adalah kekuatan untuk menghadapi hawa nafsu, kesunyian, dan keserakahan,
Tuhan. Beri aku kekuatan/ Menguasai diri sendiri, kesunyian/ dan keserakahan./ Beri aku petunjuk selalu/ untuk memilih jalanMu, keridoanMu, amin.
Pembicara dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar ”Doa Putih Pembakar Kapur” pun menggunakan subjek lirik, tetapi puisi ini dengan jelas terlihat siapa aku lirik yang dimaksud, pembakar kapur. Subjek lirik bukanlah si penyairnya, melainkan pembakar kapur yang menerima takdirnya dan harus tetap bersyukur dengan keadaannya. Yang menjadi permohonannya adalah agar Tuhan mau mendengar rintihan kerinduannya.
Terbungkuk di bawah keranjang batu
Sehidup suntuk kudaki tangga waktu
Terhuyung-terhuyung satu satu
Tetapi aku masih tetap cinta pada-Mu

Dalam gaung nyanyian asap putih
Tidakkah Kau dengar rinduku yang merintih?
Takdir-Mu telah mengantarku ke sini
Ke kehidupan garang masa kini
Cara yang sama dilakukan oleh Subagio Sastrowardoyo, aku lirik dalam puisi “Doa Seorang WTS“ adalah seorang WTS. Puisinya berisi pengaduan terhadap Tuhan agar Tuhan mau memaklumi pekerjaan yang dilakukannya. Kebutuhan hidup sehari-hari tidak bisa terpenuhi dengan hanya mengandalkan gaji suami.
Tuhan, jangan harapkan saya sempurna.
Kesucian saya tak mungkin bisa pulih.
Laki saya kerja di pabrik rokok. Yang
dibawa pulang saban bulan Cuma
10.000. Selebihnya dihabiskan di mainan
judi buntut. Sedang anak-anak masih
kecil, tiga. Yang sulung baru kelas dua
SD. Mereka perlu makan, perlu obat
kalau sakit.
Selain persoalan aku lirik sebagai individu, pembicara dalam puisi doa dapat berupa subjek lirik yang mengatasnamakan kelompok dengan menggunakan kata ”kami”, seperti pada puisi ”Doa” Taufiq Ismail,
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani

Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
” Beberapa puisi doa bermuatan doa subjek lirik yang ditujukan untuk orang lain, seperti puisi ”Doa untuk Anakku” Emha Ainun Nadjib atau puisi ”Sajak Doa” Ahmadun Y. Herfanda yang ditujukan kepada Kuntowijoyo. Dalam puisiDoa untuk Anakku”, Emha memohon agar Tuhan tidak memanjakan anaknya, bahkan sebaliknya subjek lirikmemohon agar anaknya diberi ujian, diberi hukuman, diberi cambukan agar dapat menjadi manusia yang kuat: Janganlah Kaumanjakan ia/ Jangan Kauistimewakan kemurahan baginya/ Agar cepat ia mengenali dirinya/ Dan mengerti bahasa tetangganya. Sementara itu, Ahmadun dalam puisinya memohon kesembuhan bagi sahabatnya sesama penyair, yaitu Kuntowijoyo,
tuhanku, hari ini aku bersimpuh
di hadapanmu, mengangkat tangan
dalam linangan air mata sejati
memohon kesembuhan sahabat kami
guru kami, yang kini terbaring
tak berdaya di pangkuanmu
Pembicara yang mengatasnamakan ”kami” terdapat pada puisi doa, seperti pada puisi Sapardi, ”Doa Para Pelaut yang Tabah”, puisi Emha Ainun Nadjib, “Doa untuk Hari Esok Kami” atau puisi Mustofa Bisri “Doa Penutupan Penataran P4”. Dalam puisi Sapardi, misalnya permohonan yang disampaikan berkenaan dengan kekuatan untuk dapat terus mengarungi lautan,
selalu bajakan otot-otot lengan kami, ya Tuhan,
yang tetap mengayuh entah sejak kapan
barangkali akan segera memutih rambut kami ini,
satu demi satu merasa letih, dan tersungkur mati,
tapi berlaksa anak-anak kami akan memegang dayung
serta kemudi
menggantikan kami
Puisi-puisi yang menggunakan aku lirik pada umumnya berbicara tentang kepentingan individu atau permohonan diri si aku lirik yang sangat mungkin adalah si penyair sendiri. Akan tetapi, ada pula pembicara dalam puisi doa sebagai aku lirik yang berdimensi sosial, misalnya doa yang dipanjatkan aku lirik ditujukan untuk orang lain. Puisi doa yang menggunakan pembicara sebagai seseorang atau sekelompok orang dimaksudkan sebagai doa yang berdimensi sosial. Demikian pula penggunaan kata ganti ”kami” dalam doa menunjukkan bahwa doa tersebut tidak ditujukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi ditujukan pula untuk kemaslahatan orang banyak.


Puisi Doa: sebagai Kritik Sosial

Puisi doa yang ditulis oleh para penyair dimanfaatkan pula untuk menyampaikan kritik sosial. Dalam puisinya yang lain “Mendoakan Khatib Jumat agar Mendoakan” Taufiq Ismail mengkritik para khatib di mimbar Jumat yang sering luput dari perhatian masalah sosial, masalah-masalah kaum muslimin yang terabaikan. Puisi ini merupakan kritik sosial. Walaupun judulnya mengandung kata “doa”, isinya tidak berkaitan dengan permintaan.

Berminggu-minggu debu Galunggung menyusupi kota-kota
Beratus-ribu saudara kita jatuh sengsara
Di Kalimantan berjuta hektar hutan terbakar
Asapnya menutup Asia Tenggara, apinya berbulan menjalar-jalar
Aku masuk sebuah masjid suatu Jumat tengah hari
Tak kudengar khatib mendoakan mereka
...........................
Puisi Mustafa Bisri ”Doa Penutupan Penataran P4” dimaksudkan sebagai kritik terhadap ritual penataran yang ”sok moralis”, tetapi setelahnya perilaku petatar banyak yang tidak menghayati dan tidak mengamalkan Pancasila. Puisi ”Doa Para Penguasa Sepanjang Masa” karya Hamid Jabbar yang isinya hanya satu kata ”Aman” merupakan kritik yang pedas terhadap para penguasa yang doanya hanya berkenaan dengan upaya ”mengamankan” kedudukannya.
Puisi ”Doa di Jakarta” karya W.S. Rendra tidak luput dari kritik sosial tentang keadaan kota Jakarta yang sudah mulai kehilangan ”kemanusiaan”, lingkungan yang kotor, dan tipu daya yang sudah menjadi budaya.
Tuhan Yang Maha Esa
alangkah tegangnya
melihat kehidupan yang tergadai,
pikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan

Puisi Doa: Metafora yang Imanen

Penggunaan majas dalam puisi-puisi doa tampak khas karena yang diajak berdialog adalah Tuhan yang harus dipuji, dihormati, dan dicintai. Permohonan haruslah disampaikan dengan cara-cara yang sangat santun agar permohonan itu dikabulkan. Dalam puisi Amir Hamzah, Tuhan diibaratkan sebagai kekasih. Tuhan sebagai kekasih diibaratkan senja yang memberikan kesejukan setelah berlalunya terik matahari siang hari. Sementara itu, manusia sebagai makhluk yang siap menerima kata dan kasih Tuhan. Dalam puisi Chairil Anwar Tuhan diibaratkan sebagai cahaya panas suci yang bagi dirinya tinggal kerdip lilin, sementara manusia sebagai makhluk yang lemah, hilang bentuk – remuk. Metafor cahaya bagi Tuhan digunakan juga oleh Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya “Dalam Doa I”, kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang semesta ketika Engkau seketika memijar dalam Kata

Dalam puisi “Doa” Budiman S. Hartoyo, Tuhan merupakan sesuatu yang imanen, Tuhan sangat dekat dengan manusia. Tuhan melihat tingkah polah manusia. Manusia pun dalam puisi ini mengenali, bahkan melihat Tuhannya, bahkan manusia diibaratkan gasing yang diputar-putar
Tuhan,
Ya, betapapun telah Kausaksikan
polah tingkahku selama ini
seperti mainan gasing di tengah galau kehidupan
yang Kauputar-putar
Dalam puisi “Doa I” Abdul Hadi menempatkan Tuhan sebagai pemeran utama. Tuhan sebagai tangan yang mengulurkan makanan. Tuhan sebagai kenyang itu sendiri. Tuhan sebagai nasi. Tuhan sebagai airmata ketika melihat kelaparan. Dalam puisinya yang lain, “Doa II” Abdul Hadi menempatkan Tuhan sebagai yang imanen karena berumah di air dan di udara, Tuhan, kami yang berumah di udara dan air,/ bahagia beroleh angin dapat lagi mengalir...Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup tanpa air dan udara. Manusia setiap hari bernafas dan meminum air untuk kelangsungan hidupnya.
Kelemahan manusia juga tampak pada puisi Sapardi “Doa Para Pelaut yang Tabah”. Manusia tidak akan mampu terus menerus mengayuh perahu, maka kekuatan Tuhanlah yang diharapkan agar para pelaut dapat mewariskan kemampuannya kepada anak-anaknya. Dalam puisi W.S. Rendra “Doa Seorang WTS” manusia mengakui dirinya sebagai makhluk yang tidak sempurna dan Tuhan diminta untuk memakluminya.
Yang cukup unik adalah manifestasi Tuhan dalam puisi “Doa” Sutardji Calzoum Bachri. Dia menyebut Tuhan sebagai
Bapak Kapak,
O Bapak Kapak
beri aku leherleher panjang
biar kutetak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus!
Sementara itu, Ahmadun Y. Herfanda dalam puisi “Doa Pembuka” mengambil perumpamaan dari hadis Qudsi. Tangan, kaki, lidah, mata, dan telinga manusia yang selalu berzikir adalah tangan, kaki, lidah, dan mata Tuhan. Bentuk kesatuan antara manusia dengan Tuhannya merupakan bentuk penempatan Tuhan secara imanen

Daftar Rujukan
  1. Al-Ahify, Syaikh Muhammad Mahdi. 1994. Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-doa Ahlul Bayt. Bandung: Pustaka Hidayah.
  2. Bachtiar, Toto Sudarto. 2001. Suara, Etsa, Desah. Jakarta: Grasindo.
  3. Bisri, Mustofa. 1990. Ohoi: Kumpulan Puisi Balsem. Jakarta: Pustaka Firdaus.
  4. Herfanda, Ahmadun Yosi. 1996. Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
  5. Ismail, Taufiq. 2000. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Indonesia.
  6. Jabbar, Hamid. 1998. Super Hilang. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. Jabrohim. 2003. Tahajud Cinta Emha Ainun Najdib. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sukardi (ed.). 2000. Kuliah-Kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.
  8. Leaman, Oliver. 2005. Estetika Islam. Bandung: Mizan
  9. Nadjib, Emha Ainun. 1993. Sesobek Buku Harian Indonesia. Yogyakarta: Bentang Budaya.
  10. Sastrowardoyo, Subagio. 1990. Simfoni Dua. Jakarta: Balai Pustaka.
  11. Syariati, Ali.1995. Doa Sejak Ali Zainal Abidin hingga Alexis Carrel. Bandung: Pustaka Hidayah.

AGUS NASIHIN - Penulis

Lahir dan besar di Bandung. Pendidikan terakhir Magister Pendidikan Bahasa Indonesia UPI. Pernah bekerja sebagai editor di penerbit Rosda, pernah menjadi guru SMA Muthahhari, sejak 1993 mengajar di Universitas Wiralodra Indramayu. Buku puisinya berjudul "Ketika Engkau Menagih Puisi" dan telah dimusikalisasi oleh A. Bima Sutisna. Dia punya minat yang besar terhadap dunia tulis menulis, tetapi jarang menulis.