SELAMAT BERGABUNG!

aktororchestra.blogspot.com adalah bentuk "pengkhidmatan" A. Bima Sutisna, Agus Nasihin, Yanti Sri Budiarti dan Aktor Band terhadap karya-karya sastra dan musik Indonesia.

Media ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan bermanfaat seputar bahasa dan sastra Indonesia, beragam apresiasi sastra, informasi musik dan lagu, serta mudah-mudahan dapat memotivasi para pelajar, pendidik dan musisi untuk senantiasa berkarya serta tetap menjaga dan meningkatkan kualitas.


Jumat, 08 Januari 2010

Apa Kata Puisi Tentang Dirinya

Penyusun: Agus Nasihin - Yanti Sri Budiarti

Berbagai cara dilakukan untuk mendefinisikan apa itu puisi. Sampai saat ini tidak ada satu definisi puisi pun yang memusakan karena puisi terus berubah seiring dengan perubahan zaman. Salah satu cara yang menarik dilakukan oleh para penyair atau penyajak dengan menjelaskan hakikat puisi melalui ekspresi puisi. Puisi yang paling dikenal dalam mendefinisikan puisi ialah puisi yang ditulis oleh Sanusi Pane.

SAJAK

Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihnya

Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang di hati nurani.

(Sanusi Pane dari Puspa Mega)

Dalam puisinya Sanusi Pane ingin menjelaskan bahwa puisi merupakan proses kreatif dalam memilih kata-kata secara cermat; puisi merupakan cetusan perasaan yang muncul secara spontan. Dalam buku puisinya yang berjudul Madah Kelana Sanusi Pane meralat apa yang telah ditulisnya. Ia meralatnya dengan puisi juga.

SAJAK
O, bukannya dalam kata yang rancak
Kata yang pelik kebagusan sajak.
O, pujangga, buang segala kata,
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca sepintas lalu.
Karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
Memberi sinar selama-lamanya,
Tidak meminta sesuatu kembali,
Harus cintamu senantiasa.

(Sanusi Pane dari Madah Kelana)

Sanusi Pane meralat bahwa sajak bukan dalam kata yang rancak. Menurutnya hakikat sajak adalah ekspresi yang keluar dari sukma, tidak berpretensi apa-apa, harus tulus. Buang segala kata yang tidak keluar dari dasar hati yang paling dalam.
Subagio Sastrowardojo kemudian meneruskan tradisi Sanusi Pane. Ia menyusun puisi dengan judul “Sajak” sebagai berikut.

SAJAK
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayu putih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
Sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggrek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

(Subagio Sastrowardojo, 1957)


Puisi dirasakan oleh Subagio seakan-akan tidak berarti apa-apa jika hidup ini dihadapkan dengan berbagai macam persoalan kehidupan. Tetapi, sejak tersebut sesungguhnya menegaskan bahwa betapa berartinya sajak. Karena hidup semakin sulit, Subagio bisa menulis sajak dan akhirnya dapat duit. Sajak bagi Subagio adalah senjata yang ampuh untuk mengalahkan rasa frustasi, keinginan untuk bunuh diri.
Berbeda dengan Subagio, Hartojo Andangdjaja seolah-olah mendefinisikan langsung apa itu puisi dalam puisi yang berjudul sajak di bawah ini.

SAJAK

Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejekmu, di dunia
Ia mengelana di tanah-tanah indah
lewat bukit dan lembah
dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca
jejak kakimu di dana

Sementara di mukanya masih menunggu
yojana biru
kaki langit yang jauh
jarak-jarak yang harus ditempuh

Ia makin merindu
dalam doa, dan bersimpuh
Tuhanku…..
Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejakmu, di dunia

(Hartojo Andangdjaja, 1966)

Dalam sajaknya Hartojo ingin menjelaskan bahwa puisi adalah luapan ekspresi dari pengalaman hidup berupa kenangan, petualangan, percintaan, dan kerohanian.
Berbeda dengan yang lain yang menulis puisi dengan judul sajak, Dodong Djiwapradja membuat puisi dengan judul puisi.

PUISI
Kun fayakun
Saat penciptaan kedua adalah puisi
Tertimba dari kehidupan yang kautangisi

Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari
adalah puisi
Udara yag kauhirupi, air yang kauteguki
adalah puisi
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli
adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali
adalah puisi

Dan dari setiap tanah yang kaupijak
Sawah-sawah yang kaubajak
Katakanlah: sajak

Puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan

Puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah

(Dodong Djiwapradja, 1968)


Dodong Djiwapradja memberi makna terhadap puisi sebagai suatu proses penciptaan yang dahsyat. “Kun fayakun”, jadi, maka jadilah! Seperti ketika Tuhan berkehendak dengan mengatakan “jadi!”, maka segala sesuatunya tidak ada yang mustahil. Melalui ciptaan-ciptaan Tuhanlah, puisi mendapatkan inspirasinya. Bumi, laut, udara, air, kebun, bukit adalah puisi. Tetapi, semua itu kembali lagi kepada manusia yang memiliki hati dan pikiran, manusia yang menajalani kehidupan. Lewat pengalaman yang manis, lewat pengalaman yang pahit, lewat hati yang gundah, jadilah puisi; puisi menjelma bagai “gedung megah” yang di bangun dalam sanubari.
Berbeda dengan puisi-puisi di atas, beberapa penyair menulis puisi dengan judul “Sajak” maknanya tidak lagi mudah diraba, seperti pada sajak Sapardi berikut.

SAJAK, 1
Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada
suku kata yang gosok-menggosok dan membara.
“Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan
menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain
putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!”
Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu
cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai
beterbangan dan menyesakkan udara dan…”

(Sapardi Djoko Damono, 1973)

Kita mungkin akan mengalami kesulitan untuk memahami maksud penyair dengan memberikan judul “Sajak” pada sajaknya. Tetapi, kita masih bisa mengenali hubungan antara judul dengan isinya karena masih kita dapati kata-kata seperti “berdiang pada suku kata…”, “… kata demi kata menjadi abu….” Bagi Sapardi kata-kata harus terus menerus kita gosok agar tidak menidurkan kita. Kita harus terus menerus berlatih menyusun kata sehingga menjelma puisi. Kita harus sigap menangkap kata demi kata agar tidak beterbangan dan tidak menjadi apa-apa. Kita harus dengan cepat menuliskan segala pikiran dan perasaan dalam bentuk kata-kata (puisi).
Di antara sekian banyak penyair yang menulis puisi dengan judul “Sajak” ialah Acep Zamzam Noor, yang lebih sulit lagi bagi kita untuk menemukan maksudnya.

SAJAK

Perempuan itu tanpa nama
Bangkit dari kesederhanaanmu

Ketika langit bersih
Mengalirkan sungai kasih

“Tapi aku bukan penzinah
Aku penziarah!”

Lantas siapa yang menyimpan tangisnya?
Lantas siapa yang menyusui bayinya?

Perempuan itu tanpa nama
Maria

Bangkit dari kesederhanaanmu
Menangis dalam dingin batu

Barangkali geli
Dihamili sejarah Masehi

“Tapi aku bukan anak jadah, ia!”
Kereta waktu terus melaju

(Acep Zamzam Noor, 1982)

Tidak mudah untuk memahami maksud dari puisi Acep Zamzam Noor ini (kalau mudah nanti tidak dianggap sebagai puisi). Setidak-tidaknya kita dapat menangkap kemisterian dan kerahasiaan lahirnya seorang anak dari rahim seorang ibu tanpa ayah. Kemisterian juga terjadi pada kelahiran puisi dari rahim penyairnya.
Demikianlah, beberapa cara untuk memahami arti puisi. Alih-alih memperjelas, para penyair yang mencoba menulis puisi tentang puisi malah memperkabur. Tapi, itulah puisi. Kalau tidak kabur, bukan puisi namanya.

* * *